Rabu, 11 Juni 2008

Menemukan Tuhan di Lapangan Bola

Oleh Ferdinand


Berkas:United-logo.jpg

Bila Manchester United bertanding melawan Kesebelasan Malaikat, saya pasti menjagoi MU. Bahkan, bila MU melawan Tuhan, saya pasti juga menjagoi MU. Saya termangu, ketika seorang kawan mengatakan itu.

Anda pun, barangkali, akan langsung mengatakan bahwa itu adalah perwujudan fanatisme yang akut. Sikap takabur. Sebab, bagaimana mungkin melawan Tuhan yang Maha Tak Terkalahkan? Tapi, itu bukanlah kejemawaan kawan saya. Itu, ternyata, lebih merupakan upayanya menemukan jalan untuk memahami Tuhan. Sepak bola dan Tuhan, saya kira memang menarik untuk dibicarakan, ketika sebagian kita dengan penuh pekikan menakbirkan namanya sembari menenteng pedang kekerasan.

Teman saya bilang, “Saya tahu, MU mungkin akan kalah dalam pertandingan melawan Tuhan. Tapi, saya meyakini perjuangan untuk membuktikan itu. Lagi pula, bagaimana kamu sudah begitu yakin kalau Tuhan pasti menang? Bukankah itu artinya kamu memojokkan Tuhan? Artinya, kamu mendahului kehendak Tuhan: memaksakan keyakinanmu kalau Tuhan pasti akan menang! Bagaimana kalau Tuhan ternyata punya kehendak sendiri: Ia dengan kemurahan hati-Nya, mau mengalah dan memberikan kemenangan buat MU?” Bukankah takdir tak akan pernah kita ketahui sampai pertandingan itu berakhir? Maka, katanya, pertandingan sepak bola bisa membuat kita makin memahami Tuhan.

Sir Alex Ferguson, si Setengah Dewa yang “sabda-sabda”-nya nyaris tak terbantahkan di mata “para pengikut”-nya, pada akhirnya menemukan pemahaman soal kehendak Tuhan itu, setelah klubnya memenangi pertandingan final Liga Champions Eropa 2008 melawan Chelsea. Tuhan ikut bermain dalam final itu. “Kemenangan ini adalah takdir,” katanya (bayangkanlah, bagaimana seorang rasionalis yang hidup dalam tradisi pemikiran Inggris yang nyaris tak menempatkan wacana takdir (faith) filosofinya, kemudian seperti tercerahkan dengan hasil pertandingan final itu). Pemenang final tersebut adalah Chelsea. Tapi, Tuhan mengubahnya dengan cara membuat John Terry terpeleset ketika menendang penalti. Ketika itu terjadi, Ferguson tahu bahwa tangan takdir sedang bekerja. Bahwa, Tuhan ternyata ada di lapangan bola.

Momen seperti itu adalah momen keindahan yang bisa bersifat transenden. Keindahan yang melebihi keindahan rumitnya matematika, yang membuat Albert Einstein bisa merasakan bahwa persentuhan dengan yang Ilahiah adalah “keindahan tiada tara, yang tak pernah dapat dimengerti” tetapi “membuat kita tersentuh dan beriman.” Einstein menyatakan, kita tak pernah bakal mengerti Tuhan. Tetapi, justru ketidakmengertian itulah yang membuatnya terus merasa asyik mencari.

Itu juga yang membuat kawan saya bisa tampak yakin ketika menjagoi kesebelasannya. Semacam kegilaan pada suatu keyakinan dan harapan. Saya pun yakin, pada putaran final Piala Eropa kali ini, akan banyak “kegilaan” semacam itu. Kegilaan yang justru akan memperkaya penghayatan kita akan kehendak Tuhan.

Ada seorang kawan lain, yang dalam even bola apa pun (pertandingan antarkampung, Liga Indonesia yang amburadul, sampai Piala Dunia), selalu menjagoi kesebelasan underdog. Pada Piala Eropa ini, dia berani bertaruh untuk Turki dan Austria. “Menjagoi kesebelasan-kesebelasan mapan mencerminkan orang itu pada kemapanan,” katanya.

Pada yang dipinggirkan, yang disepelekan, dia malah berharap akan memperoleh pencerahan dengan adanya “keajaiban.” Seperti “keajaiban” kemenangan Kamerun atas Argentina di Piala Dunia yang kemudian mengubah persepsi publik bola atas peta kekuatan persebakbolaan dunia. Keajaiban, tentu saja, tidak datang setiap kali. Tetapi, di situlah nikmatnya kita meyakini sesuatu.

Sebak bola memang bisa menjadi cara bagi kita untuk meyakini sesuatu. Keyakinan itu boleh jadi meleset, tetapi kemudian kita belajar menerimanya. Ini adalah proses transformasi psikologis yang akan mendewasakan. Sampai tingkat apa psikologisme sebuah bangsa bisa tercermin dari kualitas sepak bolanya. Di sinilah, kita kemudian bisa melihat kedewasaan kita dalam berdemokrasi, yang nyaris belum dewasa menerima kekalahan dengan kerusuhan-kerusuhan sepak bola kita, yang selalu meledak bila klubnya merasa kalah. Kekalahan selalu dilihat sebagai proses kecurangan pihak lawan, bahwa musuh telah menelikung aturan, menyuap para pengadil, seakan-akan para wasit itu memang tak beda dengan para hakim kita yang demen suapan. Kerusuhan-kerusuhan itu adalah wujud keyakinan kita yang tertutup, yang tak punya peluang untuk melakukan transformasi psikologis. Sebab, kita masih sering meyakini sesuatu dengan cara dan sikap yang absolut, seperti ketika meyakini Tuhan kita.

Masih banyak yang begitu yakin bahwa Tuhan harus dibela dengan cara-cara kekerasan. Tuhan yang diyakini seperti ini tentu saja tidak menarik dan akan ditinggalkan. Eropa merasakan itu. Ketika Tuhan menjadi terlalu dogmatis, ********ia tak laku lagi. Maka, orang-orang lebih suka ke stadion ketimbang gereja. Bahkan, sekarang ini, stadion dianggap merupakan perpaduan paling eklektik dari “mal dan katedral”. Stadion adalah gairah industri, seperti juga mal yang jadi simbol gaya hidup. Tetapi, di stadion pula, kita bisa merasakan gairah yang mirip pengalaman religius, di mana tangan takdir -sebagai perwujudan tangan Tuhan- terasa betul “bentuk”-nya. Kehadiran Tuhan seperti bisa terasakan betul, terasa konkret, tidak seperti ayat-ayat yang dikhotbahkan penuh kekosongan.

Maka, bila Anda saat ini sudah mulai terhipnotis oleh keriuhan Piala Eropa, akan lebih berarti jika Anda mengisinya dengan sebuah keyakinan pula. Jangan menonton bola dengan “kekosongan”, dengan gaya seorang pengamat yang sok objektif menganalisis kelebihan dan kekurangan sebuah kesebelasan. Sebab, itu akan membuat Anda kehilangan passion. Anda harus “‘menjagoi” (baca: meyakini) sesuatu. Anda bisa menjagoi satu kesebelasan yang Anda cintai dan menjadi pilihan hati nurani. Bisa juga Anda meyakini nilai atau etika tertentu. Bukan untuk menjadi fanatik. Tetapi untuk merasakan bagaimana bola bundar, nasib itu menggelinding di lapangan. Dengan begitu, siapa tahu, ketika jiwa Anda merasakan kekosongan yang sangat karena bosan dengan retorika seputar Tuhan, Anda akan bisa kembali merasakan kehadiran-Nya.

Tidak ada komentar: